Elite Pegang Kendali Mainkan Politik Identitas

Muaraenimonline.com, Jakarta – Sentimen politik identitas yang semakin marak di ranah publik dalam perhelatan demokrasi seperti pilkada DKI Jakarta beberapa waktu merupakan ulah dari sekelompok elite.

Dari elite partai politik yang haus akan kekuasaan maupun pemimpin kelompok garis keras yang selama ini merasa terpinggirkan. Mereka saling berkepentingan memanfaatkan sentimen tersebut untuk melempengkan jalan masing-masing.

Wakil Sekjen PDI Perjuangan Ahmad Basarah tidak memungkiri hal tersebut. Ia pun berkeyakinan isu politik identitas akan kembali meruyak dalam Pilkada 2018 ataupun Pilpres 2019.

“Saya menyayangkan jika elite parpol memainkan isu politik identitas atau paling tidak membiarkan sentimen itu berembus hanya untuk memenangkan calon mereka. Padahal, parpol punya kewajiban menjaga dan mempertahankan kerukunan nasional serta mengawal Pancasila. Namun, saya berharap pilkada nanti tidak menjadi kuburan bagi eksistensi NKRI. Pemerintah dan DPR harus mencari solusi agar pilkada menjadi momentum konsolidasi demokrasi dan persatuan bangsa,” kata Basarah, kemarin.

Pernyataan itu senada dengan pandangan Ketua DPP Partai NasDem, Johnny G Plate. Menurut Johnny, demokrasi akan bernilai positif ketika dibangun atas dasar rasionalitas setiap calon pemimpin yang maju di pilkada.

BACA:  Anies Dikagetkan Kemenangan Telak

“Isu politik identitas kan bagian dari eksploitasi politik sekelompok elite (parpol) untuk kepentingan mereka. Ini akan membuang energi karena kita harus melakukan rekonsiliasi kepada warga yang sudah saling menyakiti, saling merendahkan, dan saling meniadakan. NasDem tetap akan mengedepankan politik rasional dalam membangun bangsa,” ujar Johnny.

Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies J Kristiadi mencontohkan kecenderungan pemanfaatan isu-isu politik identitas tersebut oleh sekelompok elite selama pilkada DKI.

“Menurut saya, karena mereka (para elite) bisa membuktikan politik Indonesia tidak rasional dan mudah ditekan kekuatan massa. Ternyata di lembaga (politik) kita, isu primordial mempan sekali. Partai-partai politik tidak (terlibat), banyak dari kelompok garis keras. Hanya, partai politik tidak mampu meredamnya. Ini pasti menular ke pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah,” ungkap Kristiadi.

Oleh karena itu, ia meminta pemerintah mendidik kaum muda agar memahami bahwa perbedaan bukan malah menjadi pemecah bangsa. “Rakyat tidak diiming-imingi alternatif apa pun yang memberi harapan lebih cepat.”

BACA:  Pengakuan PKS Terkait Hasil Suara Anies Sebagai Gubernur Baru versi Exit Poll

Jalin komunikasi

Aktivis HAM Todung Mulya Lubis menilai ulah segelintir elite partai dan ormas radikal yang memainkan isu politik identitas, selain memperuncing polarisasi, juga menggerus demokrasi dan merusak nilai-nilai Pancasila.

“Di pilkada DKI politik identitas tidak memberikan ruang keadilan yang sama tanpa membedakan suku, agama, dan latar belakang sosial budaya. Pemerintah kerepotan menghadapi isu SARA dalam pilkada DKI. Semua itu melahirkan instabilitas politik. Pemerintah harus mulai menjalin komunikasi dengan semua elite tersebut,” jelas Todung.

Kita sebenarnya memiliki peranti untuk mencegah maraknya sentimen politik identitas. UU No 10/2016 tentang Pilkada menyebutkan larangan kampanye yang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon bupati, calon wali kota, dan/atau partai politik. Selain itu, melarang kampanye yang menghasut, memfitnah, dan mengadu domba parpol dan juga perseorangan. Bawaslu diberi kewenangan menindak setiap pelanggaran tersebut.

Facebook Comments


















Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *