Jakarta: Jam makan siang akhirnya tiba. Sontak para karyawan turun menuju taman yang tak jauh dari pusat bisnis. Melepaskan sepatu, menikmati hijaunya raudah, bahkan ada yang berlari kecil di tepi danau. Satu jam setelah itu kembali ke kantor.
Pola ini berulang dilakoni para pekerja di banyak kota di Eropa Barat. “Mereka memiliki outdoor personality,” ungkap pakar tata kota Nirwono Joga saat ditemui, Kamis, 2 Maret 2017.
Ya. Nirwono sedang bercerita tentang kota-kota yang sudah mengarahkan pembangunannya ke konsep kota hijau. Warga di kota-kota tersebut, kata dia, telah sadar manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Masyarakat di kota yang RTH-nya tidak termarjinalkan, cenderung berpikiran jernih dan lebih sabar. “Karenanya kota-kota seperti Stockholm, Zurich, indeks kebahagiaan warganya tinggi. Karena RTH warganya gembira,” kata Nirwono.
Mobilitas orang
Beberapa bulan lalu, tepatnya 17-20 Oktober 2016, PBB menggelar pertemuan tingkat dunia tentang perumahan dan pembangunan perkotaan, di Quito, Ekuador. Konferensi berjuluk Habitat III itu bertujuan menghidupkan kembali komitmen global terhadap urbanisasi berkelanjutan.
Hasil dari konferensi ini disebut Agenda Baru Perkotaan, sebuah dokumen yang berorientasi pada aksi, yang ditetapkan untuk 20 tahun kedepan. Komitmennya adalah mewujudkan tata kota yang berorientasi kepada warga.
Artinya, kota perlu merubah gaya pembangunannya, dari yang berorientasi pada mobilitas kendaraan menjadi mobilitas orang. Seperti, menghadirkan banyak pedestrian, termasuk mengedepankan sinergitas antara masyarakat dengan alam.
Wakil Presiden Perserikatan Kota-kota dan Pemerintah Daerah (United Cities and Local Government/UCLG) Asia Pasifik, Emil Elestianto Dardak, mengungkapkan, kota besar cenderung terperangkap dalam orientasi mobilitas kendaraan, seperti DKI Jakarta dan kota besar lainnya. Bahkan kecenderungan itu mulai muncul di kota yang boleh dikata tidak besar dan belum sepadat Jakarta.
Pembangunannya selalu didominasi kepentingan kendaraan bermotor. Alhasil, masyarakat tidak memiliki banyak pilihan dalam mobilitasnya. Pilihan terbesar jatuh pada penggunaan kendaraan pribadi. Termasuk menganaktirikan kebutuhan dasar lainnya, yaitu ruang terbuka publik.
Menurut Emil, saat kota tidak menyediakan ruang publik yang cukup, itu sama saja kota tidak memberikan kenyamanan kepada masyarakatnya, yang selanjutnya berdampak pada produktifitas masyarakat.
“Salah satu ukuran dari indeks kebahagiaan adalah ruang interaksi warga. Nah, di ruang publik inilah masyarakat bisa saling berinteraksi,” ucap Emil yang juga Bupati Trenggalek, Jawa Timur kepada Metrotvnews.com, Jumat, 3 Maret 2017.
“Ini yang menjadi komitmen dari para kepala daerah, khususnya gubernur atau wali kota di pertemuan Habitat III itu,” sambung Emil.
Bukan sekadar punya
DKI Jakarta, sebagai kota yang pengap dan padat, saat ini dinilai berhasil menguatkan niatnya memperbanyak taman. Hasilnya pun sebagian besar sudah memenuhi kriteria. Hanya saja Pemerintah Provinsi tidak berupaya mengihdupkannya. Artinya, menjadikan taman sebagai bagian dari masyarakatnya.
“Jadi jangan sekeadar membangun. Bisa dari pememrintah dan komunitas untuk melakukan kegiatan-kegiatan berkala. Agar hidup, taman harus memiliki agenda terjadwal,” ujar Nirwono.
Senada, Emil mengatakan komunikasi antara pemerintah dengan komunitas warga adalah kunci pendongkrak indeks kebahagiaan melalui ruang terbuka publik. “Lebih bagus lagi pengelolaannya bukan pemerintah, tapi masyarakat sendiri. Ini memacu rasa kepemilikan ruang publik menjadi lebih kuat.”
Pemerintah dan komunitas masyarakat harus sinergi. “Mendorong gerakan masyarakat perkotaan yang positif, membangun interkasi antar warga,” ucap Emil.
“Dinas pertamanan juga sekali-kali rapatnya di taman lah, biar tahu kondisi taman,” timpal Nirwono. Lebih dari itu, dinas pertamanan pun bisa sekali-kali menggelar kegiatan di taman. “Budaya bertaman harus dihidupkan.”
sumber metro